Sabtu, 13 Januari 2018

Kewajiban mendidik keluarga

KEWAJIBAN MENDIDIK KELUARGA
PENDAHULUAN
Belajar adalah hal yang wajib dilakukan bagi setiap muslim dan muslimah, dan keluarga adalah pendidik pertama. Lalu seberapa pentingkah mendidik keluarga?, dan bagaimana Al-Qur’an memberikan gambaran tentang itu?
Berdasarkan firman Allah SWT, antara lain: 1. QS. At-Tahrim (66): 6 dari kata قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا 2. QS.An-Nisa (4): 9 dari kata قَوْلًا سَدِيدًا  3. QS. Asy-Syura (3): 214 dari kata عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas, “Kewajiban Mendidik Keluarga” dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Siapa saja yang disebut keluarga dan apa tujuan dari mendidik keluarga? Kedua, Bagaimana cara mendidik keluarga menurut Al-Qur’an? Ketiga, Apa hukumnya mendidik keluarga dalam berdasarkan firman Allah SWT?. Berikut tafsir ayat-ayat Al-Qur’annya:
TAFSIR AYAT-AYAT AL-QUR’AN
Tujuan Mendidik Keluarga
Kata Ahlun memiliki banyak makna, diantaranya: “Keluarga, Kerabat, dan Pengikut”. Lalu, kata Ahlun di dalam Al-Qur’an seperti dalam QS. At-Tahrim: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ. (6)
“Wahai orang-orang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim (66): 6).
Keluarga menurut Ibnu Katsir dikutip dari tafsir kata قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api nerak” yaitu “perintahkan dirimu dan keluargamu yang terdiri dari istri, anak, saudara, kerabat, dan hamba sahaya untuk taat kepada Allah dan tidak bermaksiat dengan mengajari dan mendidik mereka sesuai perintah Allah”.

Lalu pada QS. Hud: 45
و نادى نوح ربه فقال رب ان ابنى من اهلى
“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku”
Imam Jalaluddin al-Mahalli menafsirkan bahwa memelihara diri dan keluarga dari api neraka yaitu “Dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaatan kepada Allah”
Zaini Dahlan, dkk menuturkan bahwa dalam ayat ini firman Allah SWT ditunjukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat melaksanakan perintah Allah , dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Sayyid Kutub menjelaskan bahwa orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya hendaklah menjaga dan menjauhkan diri dari api neraka, yaitu dengan ketaatan kepada Allah dan hendaklah mengajarkan kepada keluarga perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka. Dan ajarilah mereka melalui nasehat dan pengajaran.” Telah dikeluarkan oleh Ibnu Munzir dan Al-Hakim di dalam Jama’ah Al-Kharin,  dari Ali R.A, bahwa dia mengatakan tentang ayat itu, “Ajarilah dirimu dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka.”
Sayyid Kutub menjelaskan ayat ini dengan sangat rinci mulai dari beban sebagai mukmin adalah beban yang sangat berat karena harus membentengi dirinya dan keluarganya dari api neraka. Lalu, ia menuturkan “Manusia yang ada di dalamnya itu sama persis dengan batu, dalam kehinaan batu, dalam nilai batu yang rendah, dan kondisi batu yang yang terabaikan” lalu ia menjelaskan tentang karakteristik malaikat adalah ketaatan mutltak terhadap perintah Allah SWT dan mampu melaksanakan segala yang diperintahkan Allah, dengan tabiat bengis, kejam, dan keras. Maka dari itu, hendaklah bagi setiap mukmin melindungi dirinya dan keluarganya dari api neraka sebelum kesempatan itu sirna dan sebelum alasan dan uzur itu tidak bermanfaat lagi diutarakan, dengan mencontohkan orang-orang kafir yang mengemukakan uzur mereka pada saat itu padahal mereka sedang berdiri menghadap azab mereka, yang tertera pada ayat setelahnya yaitu QS. At-Tahrim(66): 7:
يايها الذين كفروا لا تعتذروا اليوم انما تجزون ما كنتم تعلمون (7)
“Hai orang0orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”
Lantas bagaimana cara orang-orang yang beriman melndungi dirinya dan keluarganya dari api neraka? Maka Allah pun menjelaskan pada ayat selanjutnya yaitu QS. At-Tahrim (66): 8 yaitu dengan cara bertaubat dengan taubatan nasuha, mepelajari kesalahan-kesalahannya di masa lalu agar ia tidak mengulanginya lagi dimasa sekarang.
Kemudian Sayyid Kutub menjelaskan kewajiban-kewajiban yang dibebani kepada orang mukmin sebagai keluarga yaitu tugas memberikan pengarahan hidayah kepada keluarganya hal ini merupakan salah satu cara mendidik keluarga agar terhindar dari api neraka. Selain mendidik keluarga agar terhindar dari api neraka, Sayyid Kutub menuturkan bahwa mendidik keluarga itu pun bertujuan agar terbangunnya kaum muslimin atas dominasi ajaran islam yang berdiri di atasnya fondasi masyarakat yang berkarakter yang berakidah, bermanhaj bersyariat dan bersistem Islam.
قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا kebaikan yang Allah perintahkan dalam ayat ini, adalah agar kaum mukminin menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari api neraka. Bagaimana caranya? Abdullah bin Abbas berkata: “Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan janganlah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah, dan perintahkanlah keluargamu dengan Dzikir, niscaya Allah SWT akan menyelamatkanmu dari neraka”. Maksudnya, ajarilah keluargamu dengan melakukan ketaan kepada Allah yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka. para Ahli tafsir mengatakan seperti yang kami katakan ini.
Sesudah Tuhan memberikan beberapa bimbingan tentang rumah tangga Rasulullah saw., maka Tuhan pun menghadapkan seruan-Nya kepada orang-orang yang beriman bagaimana pula sikap mereka dalam menegakkan rumah tangga.
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri-diri kamu dan keluarga-keluarga kamu dari api neraka.” Di pangkal ayat ini jelas bahwa semata-mata mengaku beriman saja belumlah cukup. Iman mestilah dipelihara dan dipupuk, terutama sekali dengan dasar iman hendaklah orang menjaga keselamatan diri dan seisi rumah tangga dari api neraka. Yang alat penyalanya ialah manusia dan batu. Batu-batu adalah barang yang tidak berharga yang tercampak dan tersebar dimana-mana. Batu itulah yang akan dipergunakan untuk jadi kayu penyalakan api neraka. Manusia yang durhaka kepada Tuhan, yang hidup di dunia ini tiada bernilai karena telah dipenuhi oleh dosa, sudah samalah keadaannya dengan batu-batu yang berserak –serak di tengah pasir. “Yang di atasnya ialah malaikat-malaikat yang kasar lagi keras sikap”. Disebut di atasnya karena Allah memberikan kekuasaan kepada malaikat-malaikat itu menjaga dan mengawal neraka itu, agar apinya selalu menyala, agar alat penyalanya selalu sedia, baik batu ataupun manusia.
Cara Mendidik Keluarga Menurut Al-Qur’an
Mendidik keluarga adalah tanggung jawab seorang mukmin sebagaimana pada QS. At-Tahrim: 6 dan mengenai cara mendidik keluarga terdapat pada QS. An-Nisaa: 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (9)

“Dan hendaklah takut(kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka khawatir kepdanya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”. (QS. An-Nisa (4): 9).
Yaitu pada kata  قَوْلًا سَدِيدًا Imam Jalaluddin As-Suyuthi mencontohkannya dengan perbuatan misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga, dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara dan menderita.
Sayyid Kutub menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kalimat قَوْلًا سَدِيدًا  qaulan sadiidaa adalah “mendidik dengan mengucapkan perkataan yang baik kepada anak-anak yang mereka didik dan mereka pelihara itu, sebagaimana mereka memelihara harta mereka”.
Al-Maraghi menerangkan bahwa “para wali agar memperlakukan anak-anak yatim yang diwasiati dengan baik, berbicara kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anaknya, yaitu dengan halus, baik dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan kesayangan.
Ayat ini ditafsirkan Zaini Dahlan, dkk bahwasannya “Allah SWT memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu, selalu bertakwalah dan mendekatkan diri ke[ada Allah. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatimyang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak sendiri”.
Menurut Bustami A Ghani DKK dalam ayat ini Allah SWT memperingatkan kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalulah bertakwa dan mendekatkan diri kepada. Selalulah berkata lemah lembut terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak sendiri.
Hukum Mendidik Keluarga Menurut Firman Allah SWT
Tujuan mendidik keluarga sudah sangat jelas yaitu agar terhindar dari api neraka dan agar terbentuknya masyarakat yang berkarakter, dan keluarga itu diantaranya adalah anak, istri, saudara, kerabat, dan hamba sahaya. Lalu, hukum medidik keluarga adalah wajib sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Asy-Syu’ara: 214
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214)
“Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. (QS. Asy-Syu,ara (26): 214)
Imam Jalaluddin Al-Mahalli menuturkan bahwa “Mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib, lalu Nabi Muhammad SAW memberikan perngatan kepada mereka secara terang-terangan, demikianlah menurut keterangan hadits yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim”.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi untuk mendakwahi keluarganya terlebih dulu. Dengan menakuti kaum kerabat yang terdekat akan api neraka dan siksa yang keras bagi orang kafir kepada-Nya dan menyekutukan-Nya. Pemberi peringatan khusus ini adalah bagian dari pemberian peringatan umum yang untuk itu Rasul diutus, yaitu untuk memberi peringatan.
Sayyid Kutub menjelaskan ayat ini dengan beberapa hadits, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya dari Siti Aisyah RA bahwa ketika ayat 214 surat Asy-Syu’ara ini turun: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. Maka Rasul pun menyampaikan khutbahnya: “Wahai Fatimah binti Muhammad, wahai Shafiyah binti Abdul Muthallib, wahai Bani Abdul Muthallib,aku gtidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kalian dari azab api neraka terhadap kalian. Namun, jika kalian meminta harta bendaku, maka mintalah dari hartaku apapun yang kalian inginkan”.
Ibnu Katsir menjelaskan QS. Asy-Syu’ara: 214 dengan mengkaitkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu “Allah SWT menyuruh manusia menyembah Dia semata  tanpa ada sekutu bagi-Nya, Dia memberitahukan bahwa barang siapa yang menyekutukan-Nya maka Dia akan mengazabnya”. Kemudian penjelasan dari ayat ini, yaitu “Dia (Allah) menyuruh Rasulullah SAW agar memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya yang terdekat dan bahwasannya tidak ada yang dapat menyelamatkan para kerabat kecuali keimanan mereka terhadap Tuhannya”
“Maka beri peringatanlah kaum kerabat engkau yang terdekat”. Abdul Malik bin Abdul Karim atau yang kita kenal sebagai Buya Hamka menuturka “Sesudah Rasulullah SAW diberi peringatan supaya beliau jangan menyeru Tuhan yang lain beserta Allah, disuruhlah beliau supaya menyampaikan peringatan terutama kepada kaum keluarganya yang terdekat”.
Sama halnya dengan tafsir ayat ini dari kitab tafsir lain, Zaini Dahlan, dkk menerangkan ayat ini “setelah Allah memerintahkan agar menyembh Tuhan yang Maha Esa pada ayat sebelumnya  QS. Asy-Syu’ara (26): 213
فلا تدع مع الله الها اخر فتكون من المعذبين
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) Tuhan selain Allah, nanti kamu termasuk orang-orang yang diazab”.
Pada ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar menyampaikan agama Allah kepada keluarganya yang dekat, menyampaikan kepada mereka janji dan ancaman Allah terhadap orang-orang yang memungkiri dan mensyariatkan-Nya”.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas, setelah Rasulullah menyerau kaumnya itu menjawablah Abu Lahab paman beliau:

تبا لك الهذا دعوتنا؟ نزل تبت يدا ابى لهب
“Celakalah engkau hai Muhammad hari ini, apakah kami engkau panggil hanya untuk ini?”. Maka Allah menurunkan ayat Tabbat yadaa Abii Laahabiw watabb...”.
Hadits di atas menegaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menolong seseorang di akhirat nanti dari azab Allah, kecuali iman dan amal saleh yang telah dibuatnya selama hidup di dunia. Walaupun seorang ayah, anak atau kerabat dekat, semuanya itu tidak akan dapat menolong”.

KESIMPULAN

Keluarga itu terdiri dari anak, istri,  kerabat, saudara, dan hamba sahaya. Mendidik agar tidak bermaksiat dan menyekutukan Allah swt adalah cara suami agar keluarganya terhindar dari api neraka sebagai tujuan pendidikan.
Cara mendidik keluarga terutama anak-anak adalah dengan perkataan yang lemah lembut, benar dan tegas. Tidak memilih kasih antara satu dan yang lainnya sekalipun anak itu bukan anak kita diibaratkan dengan anak yatim yang menjadi tanggung jawab begitu pula murid.
Mendidik keluarga sangatlah penting dengan dalil diperintahkannya Nabi oleh Allah untuk mendakwahi keluarganya terlebih dahulu pada masa awal dakwah. Dan hukumnya adalah wajib dilaksanakan.



Daftar Pustaka

Zaini Dahlan, dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Karya Bakhti Wakaf, 1991, jilid VII, hlm. 176-177.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993, Jilid IV.
Sayyid Kutub, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, jilid IV.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2000, Jilid III.
Abdul Malik bin Abdul Karim, Tafsir Al-Azhar, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1983, jilid XIX.
Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algesindo Bandung, 2008, jilid I.
Zaini Dahlan, dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Karya Bakhti Wakaf, 1991, jilid II.
Bustami A. Gani, dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departement Agama RI, 1991, jilid II.
Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algesindo Bandung, 2008, jilid I.
Zaini Dahlan, dkk, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT Dana Bakthi Wakaf, 1991, jilid X.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993, Jilid XXVIII.
Ahmad Warson Munawwir,  Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progressif: Surabaya, 2002.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani: Jakarta, 2000, Jilid IV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perubahan sosial dibidang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Perubahan sosial dalam bidang pendidikan, keduanya saling bertautan satu sama lain. Keduanya saling mem...