Selasa, 16 Januari 2018

Wahyu

WAHYU
Pengertian Wahyu
Pada konotasi harfiyyah lafadz wahyu adalah lafadz Masdar  yang mempunyai isyarat halus yang cepat. Jika dikatakan: awhaytu ila fulan (saya berbicara kepadanya dengan cepat dan rahasia). Maka secara etimologis, wahyu berarti isyarat, sinyal, atau ilham. Al-Qur’an telah menggunakan lafadz tersebut dengan kontasi harfiyah, antara lain:
Intuisi naluri hewan: lafadz wahyu dengan konotasi seperti ini digunakan oleh Allah SWT oleh Allah dalam surat An-Nahl: 68 yang artinya: “Dan tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.”
Bisikan jahat, baik yang berasal dari manusia, jin maupun syetan. Allah menggunakan lafadz wahyu dengan konotasi seperti ini, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-An’am: 112 yang artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) Jin, sebagian mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia). Dan dalam surat Maryam: 11 yang artinya: “Sesungguhnya syaitan itu membisiskan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Isyarat dan sinyal, konotasi seperti ini dinyatakan oleh Allah dalam surat Maryam: 11 yang artinya : “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.”
Ayat ini tidak boleh ditafsirkan dengan konotasi berbicara, sebab konotasi tersebut terhambat oleh firman Allah sebelumnya
“Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”. Tuhan berfirman: “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, pada kamu sehat.”
Pada konotasi syar’i para ulama telah mendefinisikan wahyu dengan definisi yang beragam. Ada yang panjang dan sangat singkat. Namun, definisi terbaik dan berkualitas adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dalam Fath Al-Barr: “Secara syar’i wahyu adalah pemberitahuan mengenai syariat. Kadang disebut dengan istilah wahyu, namum dengan konotasi isim Maf’ulnya, yaitu sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.”
Atau pemberitahuan Allah kepada salah seorang Nabi-Nya mengenai salah satu hukum syariat dan sejenisnya.
Atau seperti yang dirwayatkan dari Az-Zuhri yang menyatakan: “Wahyu adalah apa yang diwahyukan kepada slah seorang Nabi. Dia tetapkan ke dalam hatinya, sehingga Dia menyampaikannya dengan kata-kata, dan dia menulisnya, dan itulah kalam Allah.”
Setelah mengemukakan berbagai konotasi yang dikemukakan di atas, ada satu pertanyaan mengenai:  Apakah wahyu Allah SWT. Kepada Musa AS itu bisa dinisbatkan kepada konotasi harfiyah wahyu ataukan syar’i? Sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam surat Al-Qassash: 7 yang artinya:
“Dan kami nisbatkan kepada ibu Musa:”Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.”
Qotadah berpendapat, bahwa wahyu kepada ibu Musa AS, tersebut merupakan intuisi fitri atau alami. Yang antara lain mendukung pandangan tersebut adalah ar-Ragib Al-Ashfahani yang kemudian diikuti oleh Ibn Katsir, Al-Baydhawi dan lain-lain
Cara Wahyu Turun Kepada Para Rasul
Secara Langsung
Pertama lewat mimpi, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an firman Allah SWT surat As-Saffat: 101-102 yang artinya: “Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka takala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “ Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadaamu; in sya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kedua kalam Ilahi di balik tirai secaa langsung, seperti yang diterima oleh Nabi Musa AS dalam firman Allah surar Al-Araf: 143 Yang artinya: " Dan ketika Musa datang untuk Munajat dengan kami pada waktu yang telah kami Tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya berkatalah Musa ya Tuhanku nampak kan lah diriku kau kepadaku agar aku dapat melihat kepada engkau.”  dan firman Allah Subhanahu wa ta'ala dan Allah: “ telah berbicara kepadamu dengan langsung.” (An-Nisa: 164).
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang artinya: “ Maka tak kalah Musa sampai ke tempat api itu di sekolah dia dari arah pinggir lembah yang sebelah kanannya pada tempat yang diberkahi dari sebatang pohon kayu yaitu yang musa Sesungguhnya aku adalah Allah Tuhan semesta alam.” (Al qashas: 30)
Secara Tidak Langsung
Cara inilah Wahyu turun kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam beliau menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril dengan dua cara.
Cara pertama,  Wahyu datang seperti gemerincing lonceng yang sangat kuat yang membangkitkan semua unsur-unsur pengingat sehingga jiwa Nabi siap menerima wahyu secara penuh apabila Wahyu turun dalam bentuk ini maka Wahyu turun kepadanya beliau sudah siap dengan segala kemampuannya untuk menerima menghafal dan memahaminya cara inilah yang sangat berat dirasakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Dan cara kedua, Malaikat Jibril datang kepada Nabi dengan menyerupai seseorang cara inilah yang dirasakan oleh Rasul sangat ringan dan sampai dimana Rasulullah bisa berbicara dan mendengar layaknya berdialog di hadapan semua manusia.
Cara Wahyu Diturunkan kepada Malaikat
Wahyu (Qur’an) diturunkan langsung oleh Allah ke Lauh al-Mahfudz. Lauh Mahfuz berarti papan yang terjaga. Penyebutan ini hanya sekali dijumpai dalam Al-Qur’an:
بل هو قران مجيد(21) فى لوح محفوظ(22)
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Quran yang mulia, yang   (tersimpan) dalam Lauh Mahfudz.” (QS. Al-Buruj/85: 21-22).
Kebanyakan Ulama cenderung memahami bahwa Lauh al-Mahfudz itu sesuatu yang berada di alam gaib; padanya terdapat segenap rancangan atau ketentuan-ketentuan Allah bagi segenap ciptaan-Nya. Adapun tentang cara Allah menurunkan Wahyu (Qur’an) kepada Malaikat, ada tiga pendapat:
Malaikat Jibril menerima wahyu secara pendengaran dari Allah dengan lafadznya yang khusus. Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus kepada Malaikat Jibril di Baitul Izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 30).
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman” (QS. Al-Anfal/8: 12).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan” (QS. Al-Qadar/97:1).
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”. (QS. Ad-Dukhan/44: 3).
Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuzd
Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW.
Dari tiga pendapat tersebut, pendapat yang pertama itulah yang benar dan yang dijadikan pengangan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perubahan sosial dibidang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Perubahan sosial dalam bidang pendidikan, keduanya saling bertautan satu sama lain. Keduanya saling mem...